Selasa, 22 Maret 2011

airborne diseas

Tuberculosis
Tuberculosis merupakan airborne diseases (ditularkan melalui udara). Penyakit ini disebabkan oleh Mycobacterium tubeculosis. Penyakit ini biasanya menyerang organ paru yang biasa dikenal dengan TB paru akan tetapi pada sepertiga kasus menyerang organ lain.

Etiologi
Penyebab infeksi adalah kompleks M. tuberculosis. Kompleks ini termasuk M. tuberculosis dan M. africanum terutama berasal dari manusia dan M. bovis yang berasal dari sapi. Mycobacteria lain biasanya menimbulkan gejala klinis yang sulit dibedakan dengan tuberkulosis.
M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5µ dan lebar 3µ, tidak membentuk spora, dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya, misalnya dengan Pewarnaan Gram. Namun, sekali mycobacteria diberi warna oleh pewarnaan gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas dinding sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan patogen, menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofaga.

Distribusi Penyakit
Tersebar diseluruh dunia. Pada awalnya di Negara industri penyakit tuberkulosis menunjukkan kecenderungan yang menurun baik mortalitas maupun morbiditasnya selama beberapa tahun, namun diakhir tahun 1980 an jumlah kasus yang dilaporkan mencapai grafik mendatar (plateau) dan kemudian meningkat di daerah dengan populasi yang prevalensi HIV–nya tinggi dan di daerah yang dihuni oleh penduduk yang datang dari daerah dengan prevalensi TB tinggi. Mortalitas dan morbiditas meningkat sesuai dengan umur, pada orang dewasa lebih tinggi pada laki-laki. Morbiditas TBC lebih tinggi diantara penduduk miskin dan daerah perkotaan jika dibandingkan dengan pedesaan.
TB umumnya menyerang orang dewasa muda dan banyak terjadi di negara berkembang. Setengahnya terdapat di Asia. Pada tahun 2008, WHO memprediksi ada sekitar 9,4 juta orang yang menjadi penderita TBC aktif. Dari 15 negara dengan tingkat TBC paling tinggi, 13 diantaranya ada di Afrika. Sementara itu setengahnya ada di negara Asia, diantaranya Bangladesh, China, India, Indonesia, Pakistan dan Filipina.
HIV juga memberikan pengaruh signifikan terhadap penyebaran penyakit tuberculosis ini. Hal ini terjadi karena infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (Cellular Immunity), sehingga jika terjadi infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah penderita TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula

Reservoir
Umumnya manusia berperan sebagai reservoir, jarang sekali primata, dibeberapa daerah terjadi infeksi yang menyerang ternak seperti sapi, babi dan mamalia lain.
Cara Penyebaran
Penularan terjadi melalui udara yang mengandung basil TB dalam percikan ludah yang dikeluarkan oleh penderita TB paru atau TB laring pada waktu mereka batuk, bersin atau pada waktu bernyanyi. TB laring sangat menular. Kontak jangka panjang dengan penderita TB menyebabkan risiko tertulari, infeksi melalui selaput lendir atau kulit yang lecet bisa terjadi namun sangat jarang. TB bovinum penularannya dapat tejadi jika orang terpajan dengan sapi yang menderita TB, bisanya karena minum susu yang tidak dipasteurisasi atau karena mengkonsumsi produk susu yang tidak diolah dengan sempurna. Penularan lewat udara juga terjadi kepada petani dan perternak TB ekstra pulmoner (selain TB laring) biasanya tidak menular, kecuali dari sinus keluar discharge.

Masa inkubasi
Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tubrkulosis positif kira-kira memakan waktu 2 – 10 minggu. Risiko menjadi TB paru dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV meningkatkan risiko terhadap infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi.

Masa Penularan
Secara teoritis seorang penderita tetap menular sepanjang ditemukan basil TB didalam sputum mereka. Penderita yang tidak diobati atau yang diobati tidak sempurna dahaknya akan tetap mengandung basil TB selama bertahun tahun. Tingkat penularan sangat tergantung pada hal-hal sebagai berikut : - Jumlah basil TB yang dikeluarkan - Virulensi dari basil TB - Terpajannya basil TB dengan sinar ultra violet - Terjadinya aerosolisasi pada saat batuk, bersin, bicara atau pada saat bernyanyi. - Tindakan medis dengan risiko tinggi seperti pada waktu otopsi, intubasi atau pada waktu melakukan bronkoskopi. Pemberian OAT yang efektif mencegah terjadinya penularan dalam beberapa minggu paling tidak dalam lingkungan rumah tangga. Anak-anak dengan TB primer biasanya tidak menular.

Gejala respiratorik:
 Batuk lebih dari 2 minggu
 Batuk darah
 Sesak nafas
 Nyeri dada

Gejala sistemik
 Demam
 Malaise
 Keringat malam
 Anoreksia
 Berat badan menurun

Kerentanan dan Kekebalan
Risiko terinfeksi dengan basil TB berhubungan langsung dengan tingkat pajanan dan tidak ada hubungan dengan faktor keturunan atau faktor lainnya pada pejamu. Periode yang paling kritis timbulnya gejala klinis adalah 6–12 bulan setelah infeksi. Risiko untuk menjadi sakit paling tinggi pada usia dibawah 3 tahun dan paling rendah pada usia akhir masa kanak-kanak dan risiko meningkat lagi pada usia adolesen dan dewasa muda, usia tua dan pada penderita dengan kelainan sistem imunitas. Reaktivasi dari infeksi laten yang berlangsung lama sebagian besar terjadi pada penderita TB usia lebih tua. Untuk mereka yang terinfeksi oleh basil TB kemungkinan berkembang menjadi TB klinis meningkat pada penderita HIV/AIDS, mereka dengan kelainan sistem imunitas, mereka dengan berat badan rendah dan kekurangan gizi, penderita dengan penyakit kronis seperti gagal ginjal kronis, penderita kanker, silikosis, diabetes, postgastrektomi, pemakai NAPZA. Orang dewasa dengan TB laten yang juga disertai dengan infeksi HIV kemungkinan untuk menderita TB klinis selama hidupnya berkisar antara 10% sampai dengan 60–80%. Interaksi kedua penyakit ini mengakibatkan terjadinya pandemi paralel dari penyakit TB: misalnya dinegara negara Sub Sahara di Afrika 10–15% orang dewasa menderita infeksi HIV dan TB. Angka kesakitan TB meningkat 5–10 kali lipat pada akhir pertengahan tahun 1990-an.

Cara pencegahan
1). Temukan semua penderita TB dan berikan segera pengobatan yang tepat. Sediakan fasilitas untuk penemuan dan pengobatan penderita.
2). Sediakan fasilitas medis yang memadai seperti laboratorium dan alat rontgen agar dapat melakukan diagnosa dini terhadap penderita, kontak dan tersangka. Sediakan juga fasilitas pengobatan terhadap penderita dan mereka dengan risiko tinggi terinfeksi; sediakan fasilitas tempat tidur untuk mereka yang perlu mendapatkan perawatan. Di daerah dengan indensi penyakit yang tinggi pemeriksaan spuntum baik langsung secara mikroskopis maupun dengan kultur jika memungkinkan segera dilakukan terhadap penderita yang datang memeriksakan diri di fasilitas kesehatan karena adanya keluhan sakit didada. Biasanya hasil pemeriksaannya mempunyai nilai diagnosis yang tinggi.
3). Beri penyuluhan kepada masyarakat tentang car-cara penularan dan cara-cara pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.
4). Mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial yang mempertinggi risiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian.
5). Program pemberantasa TB harus ada di seluruh fasilitas kesehatan dan difasilitas dimana penderita HIV/penderita imunosupresi lainnya ditangani (seperti di Rumah Sakit, tempat rehabilitasi, pemakai Napza, panti asuhan anak terlantar).
6). Sediakan fasilitas perawatan penderita dan fasilitas pelayanan diluar institusi untuk penderita yang mendapatkan pengobatan dengan sistem (DOPT/DOTS) dan sediakan juga fasilitas pemeriksaan dan pengobatan preventif untuk kontak.
7). Terhadap mereka yang diketahui terkena infeksi HIV segara dilakukan tes Mantoux menggunakan PPD kekuatan sedang. Jika tes Mantouxnya positif (indurasi ± 5mm) maka segera diberikan pengobatan profilaktik, dengan catatan bahwa yang bersangkutan tidak menderita TB aktif. Sebaliknya terhadap semua penderita TB aktif harus dilakukan pemeriksaan dan dilakukan konseling jika fasilitas untuk itu tersedia.
8). Pemberian imunisasi BCG terhadap mereka yang tidak terinfeksi TB (tes tuberkulin negatif), lebih dari 90% akan memberikan hasil tes tuberkulin positif. Proteksi yang diberikan karena pemberian imunisasi BGC berbeda satu sama lain dari berbagai penelitian, hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik penduduk , kualitas vaksin, strain dari vaksin BCG yang membrikan perlindungan dampai 20 tahun di wilayah dengan insidens TB tinggi, sedangkan hasil penelitian lain menunjukkan BCG sama sekali tidak memberikan perlindungan (Desain penelitian yang dipakai adalah “Controlled trials”). Sedangkan pada penelitian dengan menggunakan desain “Case-Control” imunisasi BCG secara konsisten memberikan perlindungan terhadap terjadinya meningitis TB dan TB miliair pada anak usia dibawah 5 tahun. Imunisasi BCG tidak boleh diberikan kepada mereka yang menderita penyakit-penyakit imunodefisiensi seperti penderita HIV/AIDS.
9). Lakukan eliminasi terhadap ternak sapi yang menderita TB bovinum dengan cara menyembelih sapi-sapi yang tes tuberkulinnya positif. Susu dipasteurisasi sebelum dikonsumsi.

Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitarnya
1). Laporkan segera kepada instansi kesehatan setempat jika ditemukan penderita TB atau yang diduga menderita TB. Penderita TB perlu dilaporkan jika hasil pemeriksaan bakteriologis hasilnya positif atau tes tuberkulinnya positif atau didasarkan pada gambaran klinis dan foto rontgen. Departemen Kesehatan mempertahankan sistem pencatatan dan pelaporan yang ada bagi penderita yang membutuhkan pengobatan dan aktif dalam kegiatan perencanaan dan monitoring pengobatan.
2). Isolasi: Untuk penderita TB paru untuk mencegah penularan dapat dilakukan dengan pemberian pengobatan spesifik sesegera mungkin. Konversi sputum biasanya terjadi dalam 4 – 8 minggu. Pengobatan dan perawatan di Rumah Sakit hanya dilakukan terhadap penderita berat dan bagi penderita yang secara medis dan secara sosial tidak bisa dirawat di rumah. Penderita TB paru dewasa dengan BTA positif pada sputumnya harus ditempatkan dalam ruangan khusus dengan ventilasi bertekanan negatif. Penderita diberitahu agar menutup mulut dan hidung setiap saat batuk dan bersin. Orang yang memasuki ruang perawatan penderita hendaknya mengenakan pelindung pernafasan yang dapat menyaring partikel yang berukuran submikron. Isolasi tidak perlu dilakukan bagi penderita yang hasil pemeriksaan sputumnya negatif, bagi penderita yang tidak batuk dan bagi penderita yang mendapatkan pengobatan yang adekuat (didasarkan juga pada pemeriksaan sensitivitas/resistensi obat dan adanya respons yang baik terhadap pengobatan). Penderita remaja harus diperlakukan seperti penderita dewasa. Penilaian terus menerus harus dilakukan terhadap rejimen pengobatan yang diberikan kepada penderita. Terapkan sistem DOPT apabila secara finansial dan logistik memungkinkan dan diterapkan pada penderita yang kemungkinan mengalami resistensi terhadap pengobatan, adanya riwayat compliance yang jelek, diberlakukan juga terhadap mereka yang hidup dalam lingkungan dimana kalau terjadi relaps dapat menularkan kepada banyak orang.
3). Pencegahan infeksi: Cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Tidak ada tindakan pencegahan khusus untuk barang-barang (piring, sprei, pakaian dan lainnya). Dekontaminasi udara dengan cara ventilasi yang baik dan bisa ditambahkan dengan sinar UV.
4). Investigasi kontak, sumber penularan dan sumber infeksi: Tes PPD direkomendasikan untuk seluruh anggota keluarga bila ada kontak. Bila hasil negatif harus diulang 2-3 bulan kemudian. Lakukan X-ray bila ada gejala yang positif. Terapi preventif bila ada reaksi positif dan memiliki risiko tinggi terjadi TBC aktif (terutama untuk anak usia 5 tahun atau lebih) dan mereka yang kontak dengan penderita HIV (+), diberikan minimal sampai skin tes negatif. Sayang sekali di negara berkembang penelusuran kontak didasarkan hanya pada pemeriksaan sputum pada orang yang memiliki gejala-gejala TBC.
5). Terapi spesifik: Pengawasan Minum obat secara langsung terbukti sangat efektif dalam pengobatan TBC di AS dan telah direkomendasikan untuk diberlakukan di AS. Pengawasan minum obat ini di AS disebut dengan sistem DOPT, sedangkan Indonesia sebagai negara anggota WHO telah mengadopsi dan mengadaptasi sistem yang sama yang disebut DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse). Penderita TBC hendaknya diberikan OAT kombinasi yang tepat dengan pemeriksaan sputum yang teratur. Untuk penderita yang belum resisten terhadap OAT diberikan regimen selama 6 bulan yang terdiri dari isoniazid (INH), Rifampin (RIF) dan pyrazinamide (PZA) selama 2 bulan kemudia diikuti dengan INH dan PZA selama 4 bulan. Pengobatan inisial dengan 4 macam obat termasuk etambutol (EMB) dan streptomisin diberikan jika infeksi TB terjadi didaerah dengan peningkatan prevalensi resistensi terhadap INH. Namun bila telah dilakukan tes sensititvitas maka harus diberikan obat yang sesuai. Jika tidak ada konversi sputum setelah 2-3 bulan pengobatan atau menjadi positif setelah beberapa kali negatif atau respons klinis terhadap pengobatan tidak baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap kepatuhan minum obat dan tes resistensi. Kegagalan pengobatan umumnya karena tidak teraturnya minum obat dan tidak perlu merubah regimen pengobatan. Perubahan Supervisi dilakukan bila tidak ada perubahan respons klinis penderita. Minimal 2 macam obat dimana bekteri tidak resisten harus ada dalam regiemen pengobatan. Jangan sampai menambahkan satu jenis obat baru pada kasus yang gagal. Jika INH atau rifampisin tidak dapat dimasukkan kedalam regimen maka lamanya pengobatan minimal selama 18 bulan setelah biakan menjadi negatif. Untuk penderita baru TBC paru dengan BTA (+) di negara berkembang, WHO merekomendasikan pemberian 4 macam obat setiap harinya selama 2 bulan yang teridiri atas RIF, INH, EMB, PZA diikuti dengan pemberian INH dan RIF 3 kali seminggu selama 4 bulan. Semua pengobatan harus diawasi secara langsung, jika pada pengobatan fase kedua tidak dapat dilakukan pengawasan langsung maka diberikan pengobatan substitusi dengan INH dan EMB selama 6 bulan. Walaupun pengobatan jangka pendek dengan 4 macam obat lebih mahal daripada pengobatan dengan jumlah obat yang lebih sedikit dengan jangka waktu pengobatan 12- 18 bulan namun pengobatan jangka pendek lebih efektif dengan komplians yang lebih baik. Penderita TBC pada anak-anak diobati dengan regimen yang sama dengan dewasa dengan sedikit modifikasi. Kasus resistensi pada anak umumnya karena tertular dari penderita dewasa yang sudah resisten terlebih dahulu.Anak dengan limfadenopati hilus hanya diberikan INH dan RIF selama 6 bulan. Pengobatan anak-anak dengan TBC milier, meningitis, TBC tulang/sendi minimal selama 9-12 bulan, beberapa ahli menganjurkan pengobatan cukup selama 9 bulan. Etambutol tidak direkomendasikan untuk diberikan pada anak sampai anak cukup besar sehingga dapat dilakukan pemeriksaan buta warna (biasanya usia > 5 tahun). Penderita TBC pada anak dengan keadaan yang mengancam jiwa harus diberikan pengobatan inisial dengan regimen dengan 4 macam obat. Streptomisin tidak boleh diberikan selama hamil. Semua obat kadang-kadang dapat menimbulkan reaksi efek samping yang berat. Operasi toraks kadang diperlukan biasanya pada kasus MDR.

Sumber:
http://www.tbindonesia.or.id/pdf/Jurnal_TB_Vol_3_No_2_PPTI.pdf
http://www.who.int/tb/
Nyoman Kandun “Manual Pemberantasan Penyakit Menular”

Denty martia
E2A009135
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas diponegoro

Senin, 21 Maret 2011

food adn waterborne diseases Disentri

Disentri berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys (=gangguan) dan enteron (=usus), yang berarti peradangan usus besar yang ditandai dengan sakit perut dan buang air besar. Buang air besar ini berulang-ulang yang menyebabkan penderita kehilangan banyak cairan dan darah. Penyebab umum disentri adalah infeksi parasit Entamoeba histolytica yang menyebabkan disentri amuba dan infeksi bakteri golongan Shigella yang menjadi penyebab disentri basiler. Penderita perlu segera mendapatkan perawatan medis, jika tidak dapat mengancam jiwa. Gejala-gejala disentri antara lain adalah:
• Buang air besar dengan tinja berdarah
• Diare encer dengan volume sedikit
• Buang air besar dengan tinja bercampur lender(mucus)
• Nyeri saat buang air besar (tenesmus)
Etiologi
1. Bakteri (Disentri basiler)
o Shigella, penyebab disentri yang terpenting dan tersering (± 60% kasus disentri yang dirujuk serta hampir semua kasus disentri yang berat dan mengancam jiwa disebabkan oleh Shigella [2].
o Escherichia coli enteroinvasif (EIEC)
o Salmonella
o Campylobacter jejuni, terutama pada bayi
2. Amoeba (Disentri amoeba), disebabkan Entamoeba hystolitica, lebih sering pada anak usia > 5 tahun

Manifestasi klinis
Disentri basiler
• Diare mendadak yang disertai darah dan lendir dalam tinja. Pada disentri shigellosis, pada permulaan sakit, bisa terdapat diare encer tanpa darah dalam 6-24 jam pertama, dan setelah 12-72 jam sesudah permulaan sakit, didapatkan darah dan lendir dalam tinja.
• Panas tinggi (39,5 - 40,0 C), kelihatan toksik.
• Muntah-muntah.
• Anoreksia.
• Sakit kram di perut dan sakit di anus saat BAB.
• Kadang-kadang disertai dengan gejala menyerupai ensefalitis dan sepsis (kejang, sakit kepala, letargi, kaku kuduk, halusinasi).
Disentri amoeba
• Diare disertai darah dan lendir dalam tinja.
• Frekuensi BAB umumnya lebih sedikit daripada disentri basiler (≤10x/hari)
• Sakit perut hebat (kolik)
• Gejala konstitusional biasanya tidak ada (panas hanya ditemukan pada 1/3 kasus).

Distribusi penyakit.
Disentri ada dimana-mana. disentri amoeba jarang terjadi pada usia dibawah 5 tahun dan terutama di bawah 2 tahun, pada usia ini disenteri biasanya karena shigella. Angka prevalensi kista yang di publikasikan, biasanya didasarkan pada bentuk morfologi dari kista, sangat bervariasi dari satu tempat ketempat lain. Pada umumnya, angka ini lebih tinggi di tempat dengan sanitasi buruk (sebagian besar daerah tropis). Di daerah dengan sanitasi yang baik, infeksi amoeba cenderung terjadi di rumah tangga dan institusi. Proporsi dari pembawa kista yang menunjukkan gejala klinis biasanya rendah.

Reservoir
Manusia; biasanya penderita kronis atau pembawa kista yang tidak menampakkan gejala.

Cara penularan.
Penularan terjadi terutama dengan mengkonsumsi makanan atau air yang terkontaminasi tinja dan mengandung kista amoeba yang relatif resisten terhadap klorin. Penularan mungkin terjadi secara seksual melalui kontak oral-anal. Penderita dengan disentri amoeba akut mungkin tidak akan membahayakan orang lain karena tidak adanya kista dan trofosoit pada kotoran.

Masa inkubasi
Bervariasi, mulai dari beberapa hari hingga beberapa bulan atau tahun, biasanya 2 – 4 minggu.

Cara pemberantasan.
A. Tindakan pencegahan.
1) Memberi penyuluhan kepada masyarakat tentang kebersihan perorangan, terutama pembuangan tinja yang saniter, dan mencuci tangan sesudah buang air besar dan sebelum memasak atau menjamah makanan. Menyebarkan informasi tentang risiko mengkonsumsi buah atau sayuan mentah atau yang tidak dimasak dan minum air yang tidak terjamin kebersihannya.
2) Membuang tinja dengan cara yang saniter.

3) Melindungi sumber air umum dari kontaminasi tinja. Saringan air dari pasir menghilangkan hampir semua kista dan filter tanah diatomaceous menghilangkan semua kista. Klorinasi air yang biasanya dilakukan pada pengolahan air untuk umum tidak selalu membunuh kista; air dalam jumlah sedikit seperti di kantin atau kantong Lyster sangat baik bila di olah dengan yodium dalam kadar tertentu, apakah itu dalam bentuk cairan (8 tetes larutan yodium tincture 2% per quart air atau 12,5 ml/ltr larutan jenuh kristal yodium) atau sebagai tablet pemurni air (satu tablet tetraglycin hydroperiodide, Globaline ®, per quart air). Biarkan lebih kurang selama 10 menit (30 menit jika dingin) sebelum air bisa diminum. Filter yang mudah dibawa dengan ukuran pori kurang dari 1,0 μm efektif untuk digunakan. Air yang kualitasnya diragukan dapat digunakan dengan aman bila di rebus selama 1 menit.
4) Mengobati orang yang diketahui sebagai “carriers”; perlu ditekankan pentingnya mencuci tangan dengan baik sesudah buang air besar untuk menghindari infeksi ulang dari tetangga atau anggota keluarga yang terinfeksi.
5) Memberi penyuluhan kepada orang dengan risiko tinggi untuk menghindari hubungan seksual oral yang dapat menyebabkan penularan fekal-oral.
6) Instansi kesehatan sebaiknya membudayakan perilaku bersih dan sehat bagi orang-orang yang menyiapkan dan mengolah makanan untuk umum dan menjaga kebersihan dapur dan tempat-tempat makan umum. Pemeriksaan rutin bagi penjamah makanan sebagai tindakan pencegahan sangat tidak praktis. Supervisi yang ketat perlu dilakukan terhadap pembudayaan perilaku hidup bersih dan sehat ini.
7) Disinfeksi dengan cara merendam buah dan sayuran dengan disinfektan adalah cara yang belum terbukti dapat mencegah penularan E. histolytica. Mencuci tangan dengan baik dengan air bersih dan menjaga sayuran dan buah tetap kering bisa membantu upaya pencegahan; kista akan terbunuh dengan pengawetan, yaitu dengan suhu diatas 50oC dan dengan iradiasi.
8) Penggunaan kemopropilaktik tidak dianjurkan.

B. Pengawasan penderita, kontak dan lingkungan sekitar.
1). Laporan kepada instansi kesehatan setempat; pada daerah endemis tertentu
2). Isolasi : Untuk penderita yang di rawat di rumah sakit, tindakan kewaspadaan enterik dilakukan pada penanganan tinja, baju yang terkontaminasi dan sprei. Mereka yang terinfeksi dengan E. histolityca dijauhkan dari kegiatan pengolahan makanan dan tidak diizinkan merawat pasien secara langsung
3). Disinfeksi serentak : Pembuangan tinja yang saniter.
4). Karantina : Tidak diperlukan.
5). Investigasi kontak dan sumber infeksi : Terhadap anggota rumah tangga dan kontak lain yang dicurigai sebaiknya dilakukan pemeriksaan tinja secara mikroskopis.

6). Pengobatan spesifik : Disentri amoebik akut dan amoebiasis ekstraintestinal sebaiknya diobati dengan metronidazole (Flagyl), diikuti dengan iodoquinol (Diodoquin), paromomycin (Humatin®) atau diloxanide furoate (Furamide®). Dehydroemetine (Mebadin®), diikuti dengan iodoquinol, paromomycin atau diloxanide furoate, adalah pengobatan alternatif yang cocok untuk penyakit saluran pencernaan yang sukar disembuhkan atau yang berat. Pada penderita dengan abses hati dengan demam yang berlanjut 72 jam sesudah terapi dengan metronidazole, aspirasi non-bedah bisa dilakukan. Kadang-kadang klorokuin ditambahkan pada terapi dengan metronidazole atau dehydroemetine untuk pengobatan abses hati yang sulit disembuhkan. Kadang-kadang abses hati membutuhkan tindakan aspirasi bedah jika ada risiko pecah atau abses yang semakin melebar walaupun sudah diobati. Pembawa kista yang tidak mempunyai gejala diobati dengan iodoquinol, paromomycin atau diloxanide furoate. Metronidazole tidak direkomendasikan untuk digunakan selama kehamilan trimester pertama, namun belum ada bukti adanya teratogenisitas pada manusia. Dehydroemetin merupakan kontraindikasi selama kehamilan. Diloxanide furoate dan dehydroemetin tersedia di CDC Drug Service, CDC, Atlanta, telp 404-639-3670.


Penanggulangan Wabah
Terhadap mereka yang diduga terinfeksi sebaiknya dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk menghindari “false positive” dari E. histolityca atau oleh etiologi lain. Investigasi epidemiologis dilakukan untuk mengetahui sumber dan cara penularan. Jika sumber penularan bersifat “common source”, misalnya berasal dari air atau makanan, tindakan yang tepat perlu dilakukan untuk mencegah penularan lebih lajut.

Referensi:
http://www.scribd.com/doc/21393467/Referat-Disentri
http://health.detik.com/read/2010/02/12/172346/1298530/770/disentri
Nyoman Kandun “Manual Pemberantasan Penyakit Menular”

DENTY MARTIA
E2A009135

FKM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Rabu, 01 Desember 2010

Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kejadian Luar Biasa (KLB)
Definisi outbreak (KLB)
• Terjadinya peningkatan kasus suatu penyakit didaerah tertentu pada kelompok tertentu dan pada periode waktu tertentu
• Dua atau lebih kasus yang berhubungan dengan kesakitan yang sama
UU NO 4 TH 1984
WABAH : Kejadian terjangkitnya suatu penyakit menular dlm masyarakat yg jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yg lazim pada waktu & daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.
KLB : Timbulnya / meningkatnya kejadian kesakitan/ kematian yg bermakna secara epidemiologis, pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu

1. Apa saja kriteria suatu kejadian penyakit dikatakan wabah/ KLB?
Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa mengacu pada Keputusan Dirjen No. 451/91, tentang Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa. Menurut aturan itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa jika ada unsur:
• Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal
• Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu)
• Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan periode sebelumnya (jam, hari, minggu, bulan, tahun).
• Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.


2. Apa saja yang dimaksud dengan Herd Immunity?

Herd Immunity atau Kekebalan Kelompok Adalah tingkat kemampuan atau daya tahan suatu kelompok penduduk tertentu terhadap serangan atau penyebaran unsur penyebab penyakit menular tertentu berdasarkan tingkat kekebalan sejumlah tertentu anggota kelompok tersebut.
Herd Immunity merupakan faktor utama dalam proses kejadian wabah di masyarakat serta kelangsungan penyakit pada suatu kelompok penduduk tertentu.
Wabah terjadi karena 2 keadaan :
• Keadaan kekebalan populasi yakni suatu wabah besar dapat terjadi jika agent penyakit infeksi masuk ke dalam suatu populasi yang tidak pernah terpapar oleh agen tersebut atau kemasukan suatu agen penyakit menular yang sudah lama absen dalam populasi tersebut.
• Bila suatu populasi tertutup seperti asrama, barak dimana keadaan sangat tertutup dan mudah terjadi kontak langsung, masuknya sejumlah orang-orang yang peka terhadap penyakit tertentu dalam populasi tsb. Ex: Asrama mahasiswa/tentara.


3. Apa yang seharusnya kita lakukan agar fenomena wabah KLB dapat dicegah?
a. Menetapkan terjangkitnya keadaan wabah
• Pengumpulan data
• Analisa data
• Penarikan kesimpulan
b. Melakukan Penyelidikan Wabah
• Mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan wabah
• Mengetahui Sumber Penularan
• Mengetahui Etiologi
• Mengetahui sifat penularan
c. Melaksanakan penanganan keadaan wabah
• Ditujukan kepada penderita
• Ditujukan kepada masyarakat
• Ditujukan kepada lingkungan
• Etiologi / Agent
d. . Penanggulangan sumber pathogen
• Singkirkan sumber kontaminasi
• Hindarkan orang dari paparan
• Inactivasi / neutralisasi pathogen
• Isolasi dan/atau obati orang yang terinfeksi
e. Memutus rantai penularan
• Memutus sumber lingkungan
• Penanggulangan transmisi vector
• Tingkatkan sanitasi perorangan
f. Modifikasi response penjamu (HOST)
• Immunisasi kel.rentan
• Pemakaian chemotherapy
• Pencegahan
Denty Martia
E2A009135
FKM UNDIP

Kamis, 25 November 2010

Survailans Epidemologi DBD

Penyakit demam berdarah dengue atau lebih dikenal dengan DBD adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Virus tersebut ditularkan melalui nyamuk Aedes aegyepti. Penyakit DBD tiap tahun meningkat di Indonesia. Contohnya di kota semarang angka insidensi DBD kota Semarang, pada tahun 2005 jumlah penderita DBD mencapai 2.297 dengan CFR 1,7.Dengan meningkatkan kasus DBD setiap tahunnya maka diperlukan sistem pencatatan dan pelaporan guna keperluan perencanaan, pencegahan dan pemberantasan Penyakit DBD digunakan dengan sistem yang handal.
Untuk melakukan pengamatan, pencatatan dan pelaporan penyakit DBD dapat digunakan sistem survailans epidemologi. Survailans epidemologi merupakan pengamatan penyakit pada populasi yang dilakukan secara terusmenerus dan berkesinambungan, untuk menjelaskan pola penyakit, mempelajari riwayat penyakit dan memberikan data dasar untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit tersebut. Surveilans epidemiologi tidak terbatas pada pengumpulan data, tetapi juga tabulasi, analisis dan interpretasi data serta publikasi dan distribusi informasi. Jenis data yang dikumpulkan juga menyangkut subyek yang sangat luas, tidak hanya data kesakitan, kematian, wabah, data rumah sakit tetapi lebih luas termasuk data tentang faktor risiko individu, demografis maupun lingkungan. Dalam masalah penyakit DBD, surveilans penyakit mencakup empat aspek yaitu:
1)surveilans kasus
2) vektor (termasuk ekologinya)
3) peran serta masyarakat
4) tindakan pengendalian.
Sistem surveilans penyakit DBD adalah pengamatan penyakit DBD di puskesmas meliputi kegiatan pencatata, penggolongan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan mingguan, laporan mingguan wabah, laporan bulanan program p2 DBD, penentuan desa atau kelurahan rawan, mengetahui distribusi kasus DBD atau kasus tersangka DBD per RW atau dusun, menentuka musim penularan dan mengetahui kecenderungan penyakit.
Objek penelitian conntohnya adalah sistem surveilans DBD yang ada di dinas kesehatan Kota Semarang. Sedangkan objek Penelitian contonya adalah petugas pengelola data pada saksi pencegahan dan pemberantasan penyakit bersumber binatang di desa kesehatan Kota semarang.
Data di peroleh dangan cara melanjutkan wawan cara pada pengelola data penyakit DBD dan observasi pada sistem srvailans DBD yang beralasan saat ini.Analisis data dilakukan denngan menggunakan langkah-langkah penyusunan sistem secara terkomputerisasi.Adapun kangkah tersebut adalah
1) Survey
2) Analisis sistem
3) Desaian menginplementasikan model yang digunakan pemakai
4) Implementasi,mempresentasikan hasil desain kedalam pemprograman
5) Uji coba desain
6) Testing akhir
7) Deskripsi prosedur,pembuatan laporan teknis tertulis seperti petunjuk pemakaian dan pengoperasian
8) Konversi data base,
9) Instalasi

Data kasus atau penderita diperoleh dari laporan rumah sakit. Laporan disampaikan tiap satu bulan. Bila laporan disampaikan dalam kurun waktu kurang dari satu bulan, maka akan ditndaklanjuti dengan Penyalidikan epidemiologi (PE) tindak lanjut dari PE yaitu fogging atau pemberantasan sarang nyamuk(PSN).Laporan kasus DBD seharusnya dilakukan dalam kurun waktu 1x24 jam namun kenyataannya lebih dari itu.Alur pelaporan kasus DBD dimulai dari masyarakat dan dari petugas kesehatan/rumah sakit ataupun klinik lainnya,kemudian dilanjutkan dengan pelaporan ke Puskesmas,dari Puskesmas akan diteruskan laporannya ke Dinas Kesehatan Kabupaten/kota.
Berdasarkan survey kebutuhan dan analisis sistem terhadap sistem surveilans dan cara pencatatan dan pelaporan penyakit demam berdarah mulai dari masyarakat,Puskesmas dan kemudian ke Dinas Kesehatan,maka sistem yang akan dikembangkan adalah suatu sistem informasi surveilans epidemiologi yang bersifat multi-user dengan model modular.Adapun modul tersebut mencakup modul pemasukan kasus/penderita,modul masukan pengamatan jentik berkala,modul penyelidikan epidemoilogi,modul pencatatan fogging,modul pokja DBD ,modul pemasukan data jumlah penduduk dan modul pelaporan.
Yang tidak kalah pentingnya dalam sistem informasi survailans DBD ini adalah data tentang jumlah penduduk per wilayah kelurahan per tahun. Data ini nantinya akan dimanfaatkan untuk membuat hitungan-hitungan tentang angka kejadian DBD dan proposi jumlah penduduk yang sakit dan bentuk pelaporan lainnya. Laporan-laporan ini digunakan untuk pemantauan situasi DBD mingguan, laporan mingguan kejadian luar baiasa (KLB), laporan bulanan program pencegahan penyakit DBD (P2 DBD), pemantauan desa/kelurahan rawan, untuk mengetahui distribusi kasus DBD/tersangka DBD per wilayah, penentuan musim penularan untuk mengetahui kecenderungan situasi penyakit.

Denty Martia
E2A009135

fkm undip

Jumat, 15 Oktober 2010

PERANAN EPIDEMIOLOG DALAM KESEHATAN MASYARAKAT

A. Sejarah Perkembangan Epidemiologi

Sejarah epidemiologi tidak dapat dipisahkan dengan masa dimana manusia mulai mengenal penyakit menular. Walaupun pada masa itu sumber dan penyebabnya dianggap berasal dari kekuatan gaib dan roh jahat. Kira-kira 1000 tahun SM telah dikenal variolasi di Cina untuk melawan penyakit variola, sedangkan orang India selain menggunakan variolasi juga mengenal penyakit pes erat hubungannya dengan tikus, sedangkan kusta telah diketahui mempunyai hubungan erat dengan kepadatan penduduk.

Sebenarnya epidemiologi sebagai sains, yang didasarkan pada pengamatan terhadap fenomena penyakit dalam masyarakat, oleh mereka yang diyakini bahwa keadaan tersebut merupakan fenomena yang terjadi secara teratur (ordered phenomena) dan bukan sebagai suatu kejadian yang berkaitan dengan kekuatan gaib, telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno seperti halnya dengan berbagai ilmu pengetahuan lain yang telah mampu meningkatkan kesejahteraan manusia dewasa ini.

Pada zaman kejayaan Yunani dan Romawi Kuno, telah dikenal adanya proses penularan penyakit pada masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan faktor lingkungan. Hal ini telah dikemukakan oleh Hippocrates (abad ke 5 SM) dalam tulisannya yang berjudul Epidemics serta dalam catatannya mengenai Airs, Waters, and Places, di mana beliau telah mempelajari masalah penyakit di masyarakat dan mencoba mengemukakan berbagai teori tentang hubungan sebab akibat terjadinya penyakit dalam masyarakat. Walaupun pada akhirnya teori tersebut tidak sesuai dengan kenyataan, tetapi telah memberikan dasar pemikiran tentang adanya hubungan faktor lingkungan dengan kejadian penyakit sehingga dapat dikatakan bahwa konsep tersebut adalah konsep epidemiologi yang pertama.

Kemudian Galen mengemukakan suatu doktrin epidemiologi yang lebih logis dan konsisten dengan menekankan teori bahwa beradanya suatu penyakit pada kelompok penduduk tertentu dalam suatu jangka waktu tertentu (suatu generasi tertentu) sangat dipengaruhi oleh 3 (tiga) faktor utama yakni :
  1. Faktor atmosfir (the atmospheric factor)
  2. Faktor internal (internal faktor) , dan
  3. Faktor predisposisi (predispsosing or procatartic factor)
Apa yang dikemukakan Galen tidak banyak mengalami perubahan selanjutnya dan merupakan dasar pengembangan epidemiologi.

Pada abat ke 14 dan 15 Masehi, masalah epidemi penyakit dalam masyarakat semakin jelas melalui berbagai pengamatan peristiwa wabah penyakit pes dan cacar (variola) yang melanda sebagian besar penduduk dunia. Pada waktu itu, orang mulai menyadari bahwa sifat penularan penyakit dapat terjadi terutama karena adanya kontak dengan penderita. Dalam hal ini dikenal jasa Veronese Francastorius (1483-1553) serta Sydenham (1624-1687) yang secara luas telah mengemukakan tentang “teori kontak” dalam proses penularan penyakit. Berdasarkan teori kontak inilah dimulainya usaha isolasi dan karantina yang kemudian ternyata mempunyai peranan positif dalam usaha pencegahan penyakit menular hingga saat ini.

Konsep tentang sifat kontagius dan penularan penyakit dalam masyarakat telah disadari dan dikenal sejak dahulu namun baru pada abad ke –17, teori tentang Germ dan perannya dalam penularan penyakit pada masyarakat mulai dikembangkan. Dalam hal ini Sydenham dianggap sebagai pionir epidemiologi walaupun sebagian teorinya tidak lagi dapat diterima. Pada saat yang sama John Graunt telah mengembangkan teori statistik vital yang sangat bermanfaat dalam bidang epidemiologi. Walaupun Graunt bukan seorang dokter, tetapi hasil karyanya sangat bermanfaat dalam bidang epidemiologi dengan menganalisis sebab kematian pada berbagai kejadian kematian di London dan mendapatkan berbagai perbedaan kejadian kematian atar jenis kelamin serta antara penduduk urban dan rural, maupun perbedaan berbagai musim tertentu. Selain Graunt mengembangkan statistik vital, William Farr mengembangkan analisis sifat epidemi berdasarkan hukum Matematika. Dia mengemukakan bahwa meningkatnya, menurunnya serta berakhirnya suatu epidemi mempunyai sifat sebagai fenomena yang berurutan (an ordely phenomenon) yang dewasa ini dianggap mengikuti hukum kurva normal.

Jakop Henle pada tahun 1840 mengemukakan terorinya tentang sifat epidemiologi dan endemi yang sangat erat hubungan dengan fenomena biologis. Dikemukakan bahwa yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit adalah organisme yang hidup (living organism). Pendapat ini pada waktu yang sama telah mendorong berbagai ilmuwan terkemuka mikro-organisme penyebab penyakit tertentu.

Sejak didapatkannya mikro-organisme sebagai penyebab penyakit, para ahli segera mencoba mencari berbagai penyebab khusus untuk penyakit tertentu. Kemudian dikembangkan usaha pencegahan penyakit melalui vaksinasi.
B.      Defenisi dan Tujuan Epidemiologi
Epidemiologi berasal dari perkataan Yunani, dimana epi- yang berarti ” permukaan, diatas, menimpa, atau tentang”, demos yang berarti ” orang, populasi, penduduk, manusia ” serta ologi berarti ” ilmu tentang ”. Menurut asal katanya, secara etimologis, epidemiologi berarti ilmu mengenai kejadian yang menimpa penduduk.
                                Epidemiologi lahir berdasarkan dua asumsi dasar. Pertama, penyakit pada populasi manusia tidak terjadi dan tersebar begitu saja secara acak. Kedua, penyakit pada manusia sesungguhnya mempunyai faktor penyebab dan faktor preventif yang dapat diidentifikasi melalui penelitian sistematik pada berbagai populasi, tempat, dan waktu. Berdasarkan asumsi tersebut, epidemiologi dapat didefinisikan sebagai ” ilmu yang mempelajari distribusi dan determinan – determinan frekuensi penyakit dan status kesehatan pada populasi manusia.
Definisi tersebut mengisyaratkan bahwa epidemiologi pada dasarnya merupakan ilmu empirik kuantitatif, yang banyak melibatkan pengamatan dan pengukuran yang sistematik tentang frekuensi penyakit dan sejumlah faktor-faktor yang dipelajari hubungannya dengan penyakit.
Tujuan akhir riset epidemiologi yaitu mencegah kejadian penyakit, mengurangi dampak penyakit dan meningkatkan status kesehatan manusia. Sasaran epidemiologi adalah populasi manusia, bukan individu. Ciri-ciri ini yang membedakan epidemiologi dari ilmu kedokteran klinik dan ilmu-ilmu biomedik, yang lebih memusatkan perhatiannya kepada individu, jaringan, atau organ.
Epidemiologi berguna untuk mengkaji dan menjelaskan dampak dari tindakan pengendalian kesehatan masyarakat, program pencegahan, intervensi klinis dan pelayanan kesehatan terhadap penyakit atau mengkaji dan menjelaskan faktor lain yang berdampak pada status kesehatan penduduk. Epidemiologi penyakit juga daapt menyertakan deskripsi keberadaannya di dalam populasi dan faktor – faktor yang mengendalikan ada atau tidaknya penyakit tersebut.
     Tujuan Epidemiologi
Menurut Lilienfield dan Lilienfield, ada tiga tujuan umum studi epidemiologi, yaitu:
1.   Untuk menjelaskan etiologi satu penyakit atau sekelompok penyakit, kondisi, gangguan, defek, ketidakmampuan, sindrom, atau kematian melalui analisis terhadap data medis dan epidemiologi dengan menggunakan manajemen informasi sekaligus informasi yang berasal dari setiap bidang atau disiplin ilmu yang tepat, termasuk ilmu sosial atau perilaku
2.   Untuk menentukan apakah data epidemiologi yang ada memang konsisten dengan hipotesis yang diajukan dan dengan ilmu pengetahuan, ilmu perilaku, dan ilmu biomedis yang terbaru
3.   Untuk memberikan dasar bagi pengembangan langkah – langkah pengendalian dan prosedur pencegahan bagi kelompok dan populasi yang beresiko, dan untuk pengembangan langkah – langkah dan kegiatan kesehatan masyarakat yang diperlukan, yang kesemuanay itu akandigunakan untuk mengevaluasi keberhasilan langkah – langkah, kegiatan, dan program intervensi


C.      Batasan Epidemiologi
Pada saat ini epidemiologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang frekwensi dan penyebaran masalah kesehatan pada sekelompok menusia serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dari batasan yang seperti ini, segera terlihat bahwa dalam pengertian epidemiologi terdapat tiga hal yang bersifat pokok yakni:
1.       Frekwensi masalah kesehatan
Frekeunsi yang dimaksudkan di sini menunjuk kepada besarnya masalah kesehatan yang terdapat pada sekelompok manusia. Untuk dapat mengetahui frekwensi suatu masalah kesehatan dengan tepat ada dua hal pokok yang harus dilakukan yakni menemukan masalah kesehatan yang dimaksud untuk kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengukuran atas masalah kesehatan yang ditemukan tersebut.
2.       Penyebaran masalah kesehatan
Yang dimaksud dengan penyebaran masalah kesehatan disini adalah menunjuk pada pengelompokan masalah kesehatan menurut suatu keadaan tertentu. Yakni menurut ciri-ciri manusia ( man ), tempat ( place ), dan waktu ( time ).
3.       Faktor-faktor yang mempengaruhi
Menunjuk kepada faktor penyebab dari suatu masalah kesehatan, baik yang menerangkan frekwensi, penyebaran dan ataupun yang menerangkan penyebab munculnya masalah kesehatan itu sendiri.
D.      Peran dalam Kesehatan Masyarakat
Meninjau dari penjelasan tentang pengertian epidemiologi, serta ruang lingkupnya, seorang ahli epidemiologi atau epidemiolog memiliki peran-peran penting dalam kesehatan masyarakat. Ada beberapa peranan epidemiolog dalam kesehatan masyarakat, diantaranya adalah:
1.   Mencari  / mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan kesehatan atau penyakit dalam suatu masyarakat tertentu dalam usaha mencari data untuk penanggulangan serta cara pencegahannya.
2.   Menyiapkan data / informasi untuk keperluan program kesehatan dengan menilai status kesehatan dalam masyarakat serta memberikan gambaran tentang kelompok penduduk yang terancam.
3.   Membantu menilai beberapa hasil program kesehatan.
4.   Mengembangkan metodologi dalam menganalisis penyakit serta cara mengatasinya, baik penyakit perorangan ( tetapi dianalisis dalam kelompok ) maupun kejadian luar biasa ( KLB ) / wabah dalam masyarakat.

E.       Referensi
Azwar, Azrul. (1999) Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Bina Rupa Aksara
Friedman, Gary D. (2004)  Primer of Epidemiologi. 5th ed. Singapore: Mc. Graw Hill
Bustan, M. N. dan  Arsunan, A. (1997) Pengantar Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta
Murti, Bhisma. (1997) Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
Timmerck, Thomas C. (2004)  Epidemiologi : Suatu Penagntar. ed.2. Jakarta : EGC
Syahrul, Fachriani dan Hidajah, A. C. (2007) Bahan Ajar Dasar Epidemiologi. Surabaya: FKM UNAIR
Subaris, Heru dkk, (2009) Intisari Epidemologi . Yogyakarta : Mitra cendikia Press

Denty Martia
E2A009135